6 Benefits of Eating Beetroots

Our body to make any movement or thought needs ATP — Adenosine triphosphate (let’s say it is the coin in the form of energy that our body uses). The way our body produces more ATP is by using aerobic…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kairosclerosis

cr. pinterest

Jemarinya bergerak manja memisit
tuts-tuts piano hingga meloloskan aksen yang menawan. Denting nada mengalun indah memadati ruangan, menemani gemerlapnya pesta malam ini. Not demi not terlampaui, jari-jari terus bergerak lincah seraya tubuh kekarnya ikut terlonjak-lonjak penuh penghayatan. Nattadhika Galih termanya, si pianis terkondang di seluruh penjuru negeri 'siapa yang tak mengetahui dirinya?' menampakkan diri di pesta megah para pejabat tinggi sudah menjadi santapan hariannya, lelaki berdarah Asia sungguh berhasil menyembulkan decak kagum dari para tetamu di setiap pergelarannya.

Tepakan tangan wujud komplimen untuk sang pianis, mengundang gurat senyum darinya, dibarengi bungkukan tanda hormat kepada para tetamu lantas ia turun dari panggung yang langsung disambut oleh si tuan rumah.

"Sungguh indah dan selalu indah Mr. Galih." celetuknya padanya penuh sanjung.

"Terima kasih banyak Mr. Stijn, sebuah kebanggaan bagi saya untuk bisa hadir di pesta anda" jawabnya dengan senyum yang masih tercetak di labiumnya.

"Sebuah kebanggaan bagi saya juga jika sekiranya Anda mau bergabung di pesta Saya sebelum kembali ke persinggahan Anda, Mr. Galih" seru Tuan Stijn kembali diiringi kekehan.

"Dengan senang hati, Sir" ucap Galih Nattadhika menyetujui tuan rumah, yang dihadiahi tepukan kecil di bahunya sebelum melangkah pergi meninggalkan dirinya.

Kerlingan mata tegas ditujukan pada sang pianis sesekali ia sesap dan teguk gelas berisi wine ditangannya. Pandangan yang kelewat jarang ia berikan kepada siapapun, namun kali ini ia tidak akan mengabaikan momennya. Nattadhika sungguh menawan, semua orang tak mungkin enggan menaruh segala perhatian hanya untuk si pianis satu ini, tubuhnya terpahat apik tanpa cacat hingga mampu menjadikan seluruh mata terpatri untuknya. Terutama Matthew Adam yang tak henti-hentinya menautkan tilikannya untuk si pianis, kilatan yang terpancar seolah menandaskan ‘ia mengincarnya’. Hasrat yang telah lama merong-rong kini muncul juga.

Matanya mengikuti gerak langkah si pianis hingga menuju ke balkon sebagai tujuannya. Tak ingin menelantarkan kesempatannya yang kemudian ia bawa tungkainya hingga berakhir pada kepulan sigaret hangat menyapa kehadirannya, adalah Nattadhika sebagai pelaku. Rindunya kian membumbung tinggi, melihat yang didamba terpampang asli figurnya. Ia sungguh-sungguh ingin menjadikan tangannya sebagai sabuk di pinggang ramping si pianis, sambil menciuminya dengan beribu kata bahwa ia amat merindu. Namun lisannya terlalu kelu.

Nattadhika yang terlampau paham bahwa di sebaliknya ada lelaki berdiri mengamati. Juga terlampau kenal siapa yang tampak di sebalik punggungnya. Degupan kencang dada tak dusta jika ia benar-benar mengharap ini terjadi, ia menggeram kecil, memalingkan torsonya, melempar sembarangan kretek yang hampir habis di tangannya, lantas membawa figur itu masuk dalam rengkuhan penuh rindu. Beribu kata legit yang sungguh berarti mereka ucap satu sama lain.

“Kita bertemu, Nattadhika.” tutur Matthew, setelah sesi berpelukan, yang sekarang berganti dengan duduk bersebelahan. Memandangi terangnya candra malam di antara hiruk-pikuknya pesta.

"Kapan kamu kembali? kenapa tak memberi tahuku dahulu? aku bisa mempersiapkan diriku dahulu jika tau kamu di sini" jawab Nattadhika sedikit putus asa sebab ia bertekad jika bertemu dengan Matthew suatu hari, ia tak kan menangis kepalang rindu seperti bayi yang mendamba susu.

"Heii... maaf. Aku sungguh minta maaf. Aku hanya ingin memberimu sebuah kejutan. Akupun kelewat gila ingin sekali menemuimu. Namun terlalu banyak kerjaan yang membludak di mejaku. Maaf. Tolong jangan menangis" Jelas Matthew, tangannya ia angkat untuk menyeka air mata di wajah si pianis, sambil mengusap-usap tangannya.

Nattadhika tak menjawab, terlalu susah
menelan kejadian ini. Ia tak mengira mereka akan bersua. Lantas sama-sama bergeming. Semua keriuhan pesta teredam dalam keheningan di antara keduanya, sama-sama menaruh segala perhatian pada jumantara malam kendati tak terlalu banyak bintang yang menemani sang rembulan. Terlalu lama saling bergeming hingga tak disangka pesta telah usai.

"Ingin pulang? ayo aku antar" tanya yang lebih tua.

Gelengan menjadi jawaban. Matthew paham betul apa yang diinginkan si pianis, yang masih ingin melepas rindu lebih lama begitu juga dirinya. Ia berdeham dan kembali berujar.

"Ayo ikut bersamaku" Matthew menarik tangan Nattadhika tanpa paksaan, yang ditarik pun ikut-ikut saja, toh kehendaknya terkabul juga.

Kedua figur tengah terduduk, berbincang saling melontarkan kelakar. Pinggiran sungai dengan lanskap jembatan ditengah gemerlapnya kota malam, menjadi sebuah pilihan yang bagus untuk bercumbu rayu. Jamahan kecil membuahkan percikan di hati, jika dijelaskan bisa sampai bertahun-tahun kelarnya. Kala dua insan saling menyuapi rasa rindu sebab sudah lama terpaut yojana yang sebegitu asingnya, menjadikan sekujur buana bagai milik empat mata, ya begitulah tamsilannya. Saling mengingat-ingat dahulu, kala mereka masih merangkai asmara. Dahulu, kala mereka tak menjumpai perpisahan.

"Sudah enam tahun kita tak berjumpa, benar? kamu tetap sama seperti tempo hari kita masih bersama" Ucap si pianis, pikirnya berkelana. Yang ditanyai pun mengangguk saja sambil mengulas senyum untuk si manis.

"Bagaimana kabarmu?" lontar Nattadhika lagi.

"Baik, juga bahagia sekarang" Jawab Matthew pasti.

“Jadi, kemarin-kemarin tidak bahagia begitu Matt?” saut Natta sembari tertawa.

Lagi-lagi yang lebih tua hanya tergelak, sungguh tak ada yang bisa membuat Matthew tertawa selepas ini selama bertahun-tahun mereka terpaut oleh yojana. Dunia Matthew yang baru seluruhnya hanya kerja, hanya sebuah jalan lurus tanpa persimpangan, tanpa gundukan, tanpa cekungan. Terlalu begitu-begitu saja pikirnya. Pasalnya ia memang hanya seorang diri di sini, selaku anak yang dititah untuk menanggung apa yang orang tuanya bebankan pada dirinya.

Wanita maupun pria saja ia tak punya, bukan karena tak ada yang kepingin dengannya justru panjang deretan manusia yang mengantri pada anak adam itu. Kalau untuk membereskan nafsunya ya, cukup sewa mereka untuk satu malam. Namun kembali lagi jika ia menunjuk salah satu manusia di deretan tersebut rasa-rasanya seakan berbuat curang pada Nattadhika padahal mereka juga sudah bukan siapa-siapa.

“Entahlah” Jawab Matthew dengan kedik bahunya usai puas tertawa.

“Jawaban macam apa itu” si pianis memicingkan mata tak setuju.

Si Pianis mengeluarkan sigaretnya yang tersisa satu dari bungkusnya, maka ia sodorkan pada yang lebih tua semacam memberi isyarat bahwa ‘kau ambil saja jika mau’. Suara pemantik yang menyala, membakar ujung sigaret di tangan Matthew. Kepulan asap hangat menyapa indra pencium Nattadhika ketika angannya tengah mengembara, sampai agak tersentak waktu Matthew mengulurkan benda pemberiannya itu.

Dua insan terkekeh. Memafhumi apa tabiat mereka waktu silam, dimana kerap membagi kretek di paruh malam setelah panasnya bercinta. Si pianis dan yang lebih tua merindukannya. Tanpa ada yang tahu mereka masih saling merisik keberadaan satu sama lain ketika terpaut oleh ruang. Menjadi sebuah perkara yang andaikata ditanya, jika masih mau mencecap asmara bersama, masih mau mengarungi kehidupan bersama, jika baik-baik saja mengapa harus berpisah?. Alih-alih menyahut mereka malah kalang kabut.

Menit beralih menjadi jam, dua teruna tak kunjung beranjak pula, masih menikmati berbagi satu batang kretek di di labium sang teruna. Memuaskan rasa gembira yang berlimpah ruah, bersama asap kretek yang terhambur di dinginnya malam. Matthew menilik si pianis, mencerap garis tegas diparasnya yang tampan, diimbuh lagi candra malam kian mengundang binar kesempurnaan durjanya.

Apalagi labium si pianis yang sibuk menghembus asap ke udara, melahirkan hasrat dari yang lebih tua untuk mencicip belah kembar itu kembali. Kelewatan sudah pikirannya yang merawak, entah karena dampak terlalu lama memangku rindu atau dirinya yang sudah tidak tahu santun.

Nattadhika… Nattadhika, kamu ini luar biasa peka. Si pianis menengok pada Matthew sekonyong-konyong menautkan kedua benda kenyal itu. Rasa manis dari Nattadhika dan rasa kretek yang tersisa teraduk menjadi satu dalam rongganya, Matthew menyukainya begitu pula Nattadhika.

Benda tak bertulang yang saling beradu menyapa liang kenikmatan itu, saliva yang tertukar tak membuat dua teruna merasa jijik. Bingkai bibir berbalasan untuk melumat tanpa henti, menyalurkan rindunya, hangatnya, segalanya. Ketika malam tak banyak bintang yang menemui mereka, maka mereka yang akan menjadi bintangnya, di bawah awang-awang.

Kening yang bersentuhan, mereka menyudahi ciumannya. Deru nafas menyapa pipi lantas terkekeh. Bahagia sekali sampai tak mau merasa puas, ingin lagi. Yang lebih tua menyapu pipi si pianis, mengusapnya lembut. Tubuh sang teruna menghangat, disela dinginnya angin malam yang terus menerpa. Rindu yang membekas telah luntur perlahan hanya dengan jamahan-jamahan kecil.

Si pianis memejam, tak ingin merusak momen namun hati kecilnya sedikit menuntut yang lebih tua untuk kembali menyentuh bibirnya. Benar saja, yang dituntut memagutnya lembut, tak terburu-buru seperti tadi. Nattadhika tersenyum kecil batinnya menang kali ini, ia balas dengan lumatan lembut. Saling beriringan melumat dan melesakkan lidah. Menyerap habis rasa sigaret yang tersisa.

Mereka terengah, kepalanya terasa penuh merasakan gembira yang bertimbun-timbun, tak ada yang mau keluar dari momennya, tak ingin sang baskara hadir lebih cepat yang memaksa untuk menyudahinya sebab kedua teruna ingin terus mengadu rayu hingga rasa puas tiba.

Add a comment

Related posts:

Why You Should Consider Custom CBD Boxes

Printed with the company branding, Custom CBD boxes help differentiate a company from its competitors. In addition, the box contains relevant commercial details that help the company contact more…

My experience from my 1st public speaking

Last week I had the honor to speak to an audience. And when I say honor — I really mean it. It will probably sound cliche but I thought I will hardly ever speak to an audience as a designer for my…